Bloomberg BusinessWeek, 1st Indonesia eCommerce Icon & Technopreneur

Bloomberg BusinessWeek, 1st Indonesia eCommerce Icon & Technopreneur

  • Tuesday, Jul 3, 2018
  • by admin, 2322 Views

Siapa yang tidak mengenal Amazon.com? Toko online yang menjual buku-buku, film, game, CD, DVD, perangkat lunak dan perangkat keras komputer, serta produk-produk terkait gaya hidup itu begitu dikenal di Amerika Serikat. Bahkan, boleh dibilang Amazon merupakan toko ranah maya yang terbesar sekaligus kiblate-commerce global saat ini. Siapa pun yang membicarakan e-commerce, sulit rasanya mengesampingkan kebesaran Amazon.

Beberapa tahun lalu, perusahaan yang berbasis di Seattle, Washington, itu berhasil membukukan laba usaha senilai $862 juta dari pendapatan sebesar $48,07 miliar. Sampai kuartal pertama 2012, jumlah karyawannya telah mencapai 65.600 orang. Padahal, toko yang melayani permintaan dari berbagai penjuru dunia itu baru berumur 18 tahun. Dan, ketika mendirikannya pun Jeff Bezos masih tercatat sebagai karyawan di perusahaan investasi serta pengembangan teknologi DE Shaw & Co.

Sementara itu, di belahan wilayah yang lain, publik China begitu mendambakan Jack Ma. Ma semula adalah guru bahasa Inggris di Hangzhou Teachers College, Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang. Pada 1999, Ma mengembangkan Alibaba.com, e-commerce berkonsepmarketplace yang diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan di mana pun berada yang ingin menjual atau membeli sebuah produk.

Dari situlah Ma dikenal dan dikenang. Sebab, Alibaba.com kini berhasil menarik sekitar 79 juta pengguna dari 240 negara. Situs yang kemudian berkembang menjadi Alibaba Group tersebut telah memiliki beberapa anak perusahaan, antara lain Taobao Marketplace, Tmall.com, eTao, dan Alibaba Cloud Computing. Apabila dijual saat ini, kelompok bisnis itu diramalkan bernilai $35 miliar atau setara dengan Rp300 triliun. Itulah yang membuat Ma dinobatkan sebagai Pemimpin Muda Global oleh World Economic Forum pada 2001.

Apa yang menjadi persamaan antara Amazon dengan Alibaba atau Jeff Bezos dengan Jack Ma? Amazon dan Alibaba sama-sama dikembangkan pada 1990-an. Sedangkan para pendirinya sama-sama lahir pada 1964. Yang menjadi pertanyaan, apa menariknya? Sepuluh tahun setelah kelahiran Bezos dan Ma, tepatnya 22 Agustus 1974, di Kota Palembang, Sumatera Selatan, lahirlah Agus Tjandra yang amat bermimpi menjadi Jeff Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia.

Agus, demikian ia akrab disapa, menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya. Ia baru merantau ke ibu kota Jakarta ketika melanjutkan studi ke Universitas Bina Nusantara pada 1993. Karena ingin mempelajari sistem informasi manajemen, ia mengambil jurusan Management Information Systems. Pada 1998, usai dinyatakan lulus dari kampus, ia mengawali kariernya dengan bergabung menjadi staf biasa di perusahaan eksportir seafood.

Di pabrik eksportir seafood tersebut, Agus mendapatkan banyak pelajaran yang berharga. Ia menjadi tahu pengelolaan bisnisnya, mulai dari mencari bahan baku hingga proses pengiriman ke pelanggan di luar negeri. Agus pun dipercaya menjadi overseas marketing untuk melayani pembeli dari Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa dengan posisi terakhir marketing manager.

Tapi, Agus tak bertahan lama. Ia “dibajak” oleh salah satu perusahaan international trading terbesar dari Jepang setahun kemudian untuk mengurusi kantor perwakilan yang baru dibuka di Jakarta. Tentu saja bebannya tak bisa dibilang ringan karena ia bertanggung jawab langsung kepada atasannya yang berasal dari kantor pusat. Selain itu, ia wajib membesarkan perusahaan tersebut yang masih berada di titik nol. Padahal, kala itu Indonesia sedang terpuruk akibat krisis ekonomi yang melanda.

Berbagai tantangan itu justru yang membuat Agus lekas memahami arti bisnis sebenarnya. Ia banyak belajar dari keadaan. Disiplin, selalu berpikir positif, dan terus memikirkan berbagai inovasi merupakan sedikit hal yang ia lakukan tanpa henti demi membesarkan perusahaan. Soal inovasi, misalnya, ia tak pasrah dengan sedikit klien. Ia rela mendatangi perusahaan-perusahaan nasional untuk mengajaknya memasarkan produk-produk mereka ke pasar mancanegara.

Karena itu, setiap bulan ia mengunjungi negara-negara potensial untuk mencari para pembeli produk-produk dari Indonesia. Tidak hanya seafood, ia memperbanyak dengan produk kopi, lada, atau apa saja yang sekiranya laku di pasar internasional. “Sehingga, hampir semua negara sudah pernah saya kunjungi, terutama China dan Hong Kong serta negara-negara di kawasan Eropa,” katanya.

Dan, yang paling berguna bagi penyuka pop mandarin dan jazz itu ialah menjadi mengerti bagaimana proses manajemen rantai pasokan (supply chain management) sebuah barang, mulai dari mencari penjual, menemukan dan melobi pembeli, mengirimkan, sampai mengatur pembayaran, dan lain sebagainya. Ia pun berpengalaman dalam membuka pasar-pasar baru. Pengalaman itulah yang membuat ia berpikir hal-hal baru, termasuk membuka bisnis sendiri.

Pada 2005, karena menyukai refleksi, Agus mencoba peruntungan di bisnis refleksologi. Tidak lama berselang, ia membuka gerai salon kecantikan bernama Salon Anna Wijaya di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, atas hak waralaba dari Anna Wijaya, temannya. “Pada dasarnya, saya hobi berbisnis. Jadi, apa saja yang sekiranya menguntungkan, akan saya bisniskan,” ungkapnya. Walau sudah membuka bisnis sendiri, bukan berarti Agus telah keluar dari perusahaan international trading Jepang itu.

Agus baru mundur pada 2007 setelah jiwa bisnisnya semakin menggelora. Ia lantas mendirikan PT Agna Prosperindo Abadi, perusahaan penyedia katalog belanja bagi para nasabah perbankan. Prosesnya hampir mirip dengan perusahaan trading bahwa perusahaan tersebut mengimpor barang-barang bermerek asal Jepang, Amerika Serikat, China, Taiwan, dan Hong Kong untuk dipasarkan melalui katalog. Untuk menjalankan bisnisnya, ia menggandeng bank-bank penyedia kartu kredit.

Percaya atau tidak, dalam menjalankan bisnisnya itu, yang nota bener terkait kartu kredit, Agus hanya bermodalkan kartu kredit pula. Ceritanya, ketika menjadi international trader di perusahaan Jepang, ia sering mendapat tawaran kartu kredit. Jika orang lain sibuk menolaknya dengan berbagai alasan, ia malah selalu menerimanya. Bahkan, sampai saat ini memiliki 20 kartu kredit dari berbagai bank yang berbeda.

Berbekal kartu kredit itulah ia berbelanja barang-barang yang memungkinkan untuk dijual kembali melalui katalog. Fokus produknya adalah gadget, aksesori, peralatan rumah tangga, dan produk-produk penopang gaya hidup. Baginya, ada ceruk yang bisa dijadikan peluang bisnis sehingga ia berani melakukan dengan cara itu. “Memang harus berani,” ujarnya. “Mungkin kelebihan saya, saya bisa melihat tren yang akan terjadi di masa depan.”

Sekali waktu, ia mengimpor gelang kesehatan merek Magnvm dan memasarkannya melalui katalog yang ia buat. Tak disangka, permintaannya begitu membludak, bahkan meraih predikat Best Seller dari Bank Internasional Indonesia pada 2008. Atas kesuksesan itu, bank-bank lantas berlomba-lomba mengandeng Agnaprosperindo. Reputasi Agus dan perusahaannya pun semakin kinclong di mata kalangan perbankan. Sampai akhirnya tren belanja online mewabah di Indonesia dan ditangkap Agus dengan membuka toko PasarKredit.com.

Besarnya potensi pasar e-commerce nasional yang semakin tumbuh membuat Agus makin yakin untuk menyeriusi bisnis tersebut. Sayangnya, konsumen nasional terlalu gengsi untuk berbelanja di PasarKredit.com yang mengharuskan Agus mengubah namanya (rebranding) menjadi Lojai.com pada 2010. Lojai diambil dari bahasa Portugis yang bermakna Toko dengan konsep online department store. “Orang Indonesia itu malu kalau disebut barangnya kreditan. Makanya kami harus melakukan rebranding.”

Pasca-rebranding, Lojai.com langsung mendapat sambutan yang meriah dari pengguna internet di Tanah Air. Posisinya pun melesat mendekati Rakuten Belanja Online asal Jepang dan Blibli.com milik keluarga Djarum. Berbeda dari e-commerce lainnya, selain memasarkan lebih dari 100 merek-merek kelas menengah atas seperti Apple, Samsung, dan Sony, bahkan satu-satunya toko online yang dipercaya memasarkan merek St Dupont, Lojai.com menawarkan cicilan hingga 24 bulan dari 14 kartu kredit, baik MasterCard, Visa, maupun lainnya. Padahal, kompetitornya paling banyak hanya memiliki 2-3 pilihan kartu kredit.

Selain itu, kini Lojai.com sedang mempersiapkan diri berekspansi ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Brunei Darussalam. “Di dalam negeri, saya yakin Lojai.com akan memiliki 9 juta pelanggan selama lima tahun ke depan,” kata Agus. “Dan, kalau memungkinkan, kami akan segera ekspansi ke luar negeri.” Barangkali itulah jalan bagi Agus untuk bisa disebut Jeff Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia. “Obsesi saya ingin mencetak sejarah baru di dunia e-commerce Tanah Air,” kata penggemar film kungfu itu.[Bloomberg Businessweek Indonesia]