[Video] Berita Satu Transformasi Digital Maret 2019
Di Era Pesatnya perkembangan teknologi saat ini, Transformasi Digital di Indonesia di tahun 2019 akan seperti apa?
Simak Trend Transformasi Digital di Indonesia di tahun 2019 Bersama Dr. Agus Tjandra yang akan mengupas tuntas transformasi digital saat ini.
Read More
Agus Tjandra Peraih Asias Most Admired Technopreneur Award
Di bisnis e-commerce, nama Agus Tjandra sudah tidak asing lagi. Dikenal sebagai pendiri sekaligus CEO situs belanja online Lojai.com, Agus juga tercatat aktif di idEA (Indonesia E-commerce Association). Di komunitas idEA tersebut, Agus dipercaya menempati posisi Wakil Ketua Umum. Mewakili idEA, ia banyak terlibat dalam sosialisasi tren belanja online di Tanah Air dan memberi masukan ke pemerintah.
Aktif di komunitas, tentu saja tidak membuat Agus melupakan bisnis yang sudah dirintisnya. Dalam mengembangkan bisnis Lojai.com, ia mampu menghadirkan inovasi baru. Antara lain, dengan mencetuskan ide belanja online dengan cicilan dan pilihan kartu kredit terbanyak. Buntutnya, Lojai.com terpilih sebagai satu dari 20 perusahaan yang mendapatkan penghargaan Rekor Bisnis 2014 di Indonesia.
Kini, Lojai juga telah memberikan solusi untuk belanja dengan konsep “One Stop Shopping”, dengan menghadirkan produk Groceries unggulan dari P&G—seperti popok bayi Pampers, sampo Pantene, Gillete, pantyliner Whisper, hingga produk pewangi AmbiPur. Online department store dengan slogan ‘Solusi Belanja Ringan’ itu juga menyediakan produk suplemen kesehatan hingga parfum dengan harga terjangkau.
Catatan prestasi lainnya yang diraih Agus adalah terpilihnya ia menjadi “Top 10 of Asia 2014: Asia’s Most Admired Technopreneur Award”, sebuah ajang penghargaan bergengsi di Malaysia yang diselenggarakan oleh majalah Top 10 of Asia.
Perhelatan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari sejumlah negara Asia, seperti Jepang, Korea, Taiwan, Malaysia, Singapura, Filipina, Hongkong, Thailand, Arab Saudi, Tiongkok, India, dan Qatar.
“Saya terkejut sekaligus merasa senang bisa terpilih mewakili Indonesia dalam ajang bergengsi ini. Saya terpilih melalui penilaian diam-diam (hidden investigation) yang dilakukan panitia, melewati ujian dan juga presentasi yang cukup ketat,” cerita Agus.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Agus juga terlihat aktif menjadi pembicara bertema perkembangan e-commerce di sejumlah negara, seperti Malaysia dan Singapura, serta tentu di dalam negeri. Ayah empat anak itu, terakhir menjadi pembicara e-commerce di Kuala Lumpur.
Source : http://mix.co.id/people-of-the-week/people/agus-tjandra-peraih-asias-admired-technopreneur-award
Read MoreThe 8th Indonesia MICE Indonesia Outlook 2016 ~ Indonesia Go Digital & eCommerce
TANGERANG, KOMPAS.com – Forum para pelaku meeting, incentive, convention dan exhibition (MICE) kembali digelar. Indonesia MICE Outlook atau IMO ke-8 diselenggarakan di Indonesia Convention Center, Tangerang, Banten pada 1-2 Desember 2015. Tema kali ini “Semakin Banyak Event, Semakin Memakmurkan”. “Potensi MICE Indonesia luar biasa tapi belum tergarap. Di acara tahunan ini kita berkumpul untuk membahas industri MICE di Indonesia,” kata Pemimpin Utama Majalah Venue, Hendra Noor Saleh dalam sambutan acara pembukaan 8th Indonesia MICE Outlook 2016 di Indonesia Convention Exhibition, Tangerang, Selasa (1/12/2015). Beberapa tema yang akan dibahas pada forum ini di antaranya tentang proyeksi ekonomi Indonesia dan pengaruh terhadap industri pariwisata dan MICE, tren MICE pada 2016 di dunia internasional, potensi investasi destinasi wisata bahari di Indonesia, pemasaran destinasi wisata, dan masa depan industri MICE. Ada pun hal menarik yang akan dibahas pada 8th Indonesia MICE Outlook 2016 adalah sesi Road to INCEB (Indonesia Convention & Center Exhibition Bureau). Para pembicara yang ikut hadir dalam acara ini seperti praktisi pariwisata, pihak Kementerian Pariwisata, dan juga asosiasi pelaku pariwisata. Kegiatan IMO yang merupakan hasil kerja sama Majalah Venue, Kementerian Pariwisata, dan asosiasi ini juga digelar bersamaan dengan Indonesia Professional Organizer Summit (IPOS), yaitu ajang bisnis yang mempertemukan sellers dan buyers. Para sellers ini terdiri dari industri perhotelan, venue owner, destinasi, dan supplier event. Sedangkan buyers berasal dari kalangan profesional conference/exhibition organizer dan perusahaan biro perjalanan. Sama seperti pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, pada akhir acara IMO, Majalah Venue menggelar malam penganugerahan Indonesia MICE Award. Ajang apresiasi terhadap insan MICE ini terdiri dari dua kategori: The Best MICE Award dan The Most Popular MICE Award. Terdapat 16 kategori penghargaan yang akan diberikan pada acara tahunan yang diselenggarakan oleh Majalah Venue ini.
Read MoreMobile Money and Digital Payments Asia
Mobile Money and Digital Payments Asia returned for its sixth year in January, offering an opportunity for the industry’s key stakeholders to meet and share insight, opinions and strategy at the Ritz-Carlton Jakarta.
On the first day of the event, the e-MITRA team attended The Digital Money Leaders’ Summit. The Summit is a gathering of specially selected senior executives from across the financial services and inclusion ecosystem.
The open dialog inspired by the senior payment industry stakeholders raised some interesting projections and questions. Sunil Sachdev of Fiserv shared some of his views:
“Bill payment in Indonesia is pretty robust; you can go to different agents in different cities to pay bills. It’s similar in Mexico – people still queue to pay their bills. Changing this consumer behavior is going to take some time,” he said. “Also, rural remittance is an issue which needs to be solved by digitalization. It covers 33 percent of all flows in Central America, South America, and Cambodia.”
After the Summit session, we attended a panel discussion featuring Aung Aung of Myanmar Citizens Bank, Ellison Pidik of Bank of Papua New Guinea, and Pungky Wibowo of Bank Indonesia. Sunil Sachdev of Fiserv served as moderator.
According to Pungky, there are several main challenges to implementing digital banking in Indonesia, including financial literacy, mobile phone penetration, and regulation itself.
“The rate of financial literacy is quite low in Indonesia. How can we provide a comprehensive financial inclusion strategy for a country as big as this? Our country being an archipelago becomes another challenge we need to conquer,” he remarked.
Ellison, Assistant Governor for Financial System Stability of the Bank of Papua New Guinea, then explained that most of the population in Papua New Guinea is unbanked. He said that they allow not only bank-led mobile money, but also products from telecommunication companies.
“We just want to open the market and see which areas can work well. We have provided what we believe as framework,” he added.
Meanwhile, Aung stressed that physical banking services don’t make sense in a country like Myanmar. The reason banks get into mobile money, he said, is because they realize that physical banking services are very expensive.
“The challenges we’re facing are enormous. On the consumer side, we have less than 5% of banked population. We need infrastructure and when only 20% of the population is using mobile, we have a long way to go compared to other developing countries,” Aung said.
The next generation of microfinance products
On the second day, we participated in an interesting panel discussion moderated by Brian Dusza of USAID about the next generation of microfinance products.
Competition between banks and microfinance institutions was one of the main topics.
“For microfinance institutions, I think the best thing at the moment is working with telecommunication companies. I think they can work with banks in the future, but both parties need to see this not as a competition,” stressed panelistEky Amrullah of e-MITRA.
Second panelist Andi Taufan Garuda Putra of Amartha Microfinance added that banks and microfinance institutions can complement each other in some ways. Andi also shared his experience in providing training for low-income communities.
“In Amartha, before we lend money, we educate [recipients] about the importance of savings and how to manage multiple loans from different microfinance institutions. And then, we provide training continuously, every week. I think finance institutions must educate their clients before they provide loans,” Andi said.
The discussion closed around the topic of how agent banking in Indonesia will look in the next five to ten years. Eky emphasized that in the future there will be a lot of agents that telecommunications companies can work with.
“The challenge would be whether they can work with licensed institutions or not. Because in terms of branchless banking regulations, only banks can work with agents. Therefore, we can see that the challenge comes from the regulation side,” he said.
How digital money shapes payment culture
On the third and final day of Mobile Money and Digital Payments Asia 2015, Vijay Raghunathan of Panamax talked about cryptocurrency. He underlined that mobile money is introducing a lot of new business models requiring people to do more experiments, and that emerging economies are in fact going towards the digital world, though not at the rate we want them to.
Agus Tjandra of lojai.com, Arnab Ghosh of Vietnam International bank, Makoto Shibata of The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, and Geert Warlop of True Group, Thailand, also sat as panelists to discuss how digital money is shaping payment culture. One of the topics in this panel is about what would be the best model in each of the panelists’ countries. The panel came to a conclusion that traditional financial institutions may find it hard to compete with new players who have new business models, and the competition will continue in the future.
Read MoreTempo : CEO Lojai Agus Tjandra Raih Top 10 of Asia 2014
Jakarta – Chief Executive Officer (CEO) dan Founder of Installment Online dari Lojai.com Agus Tjandra terpilih menjadi “Top 10 of Asia 2014: Asia’s Most Admired Technopreneur Award”, sebuah ajang penghargaan bergengsi di Malaysia yang diselenggarakan oleh majalah Top 10 of Asia.
Perhelatan ini dihadiri perwakilan dari sejumlah negara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, Malaysia, Singapura, Filipina, Hongkong, Thailand, Arab Saudi, Tiongkok, India & Qatar.
Penghargaan yang diberikan di The Palace of The Golden Horses in Kuala Lumpur, Malaysia, pada 21 November 2014 ini diklaim prestisius karena dari setiap negara hanya dipilih satu hingga dua orang sebagai Top 10 Asia Corporate Ball.
Acara ini dihadiri oleh pejabat kerajaan Malaysia, sejumlah menteri dan penyanyi terkemuka Siti Nurhaliza.(Baca : Tiga Tokoh Indonesia Raih Kenton Miller Award)
Tahun ini, Agus Tjandra terpilih menjadi Top 10 of Asia 2014, yakni sebagai “Asia’s Most Admired Technopreneur Award 2014” berkat kiprahnya dalam memajukan industri ecommerce di Indonesia.
“Saya terkejut sekaligus senang bisa terpilih mewakili Indonesia dalam ajang bergengsi ini. Saya terpilih melalui penilaian diam-diam (hidden investigation) yang dilakukan panitia, melewati ujian dan juga presentasi yang cukup ketat,” ujar Agus menanggapi penghargaan yang diberikan kepadanya pada 24 November 2014.
Agus yang menjabat sebagai Wail Ketua Umum idEA (Indonesia Ecommerce Association/Asosiasi eCommerce Indonesia) ini mengatakan, salah satu kriteria dirinya terpilih menjadi Top 10 of Asia 2014 adalah dedikasi tak kenal lelah dalam mengembangkan bisnis ecommerce di Indonesia dan melahirkan kreativitas memudahkan konsumen berbelanja online. Misalnya dengan ide Cicilan Online yang juga mendapatkan penghargaan MURI pada Oktober 2012.
“Cicilan Online yang saya kembangkan di Lojai, bahkan dianggap sangat menarik dan inovatif, sehingga menjadi bahan kajian dan kemungkinan akan dipertimbangkan untuk diaplikasikan di Malaysia,” urai Agus.
Dalam beberapa tahun terakhir, Agus Tjandra juga aktif menjadi pembicara mengenai perkembangan e-commerce di sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura, serta tentu di dalam negeri.
Ayah empat anak ini terakhir menjadi pembicara e-commerce di Kuala Lumpur. Ia juga banyak mewakili idEA dalam sosialisasi tren belanja online di Tanah Air dan memberi masukan ke pemerintah.(Baca : Peter Carey Penulis Diponegoro Raih Penghargaan)
Agus menambahkan, penghargaan ini akan menjadi pelecut semangat untuk berbuat lebih baik lagi. “Saya berkomitmen akan terus menyebarluaskan belanja online sebagai sebuah gaya hidup.”
Top 10 of Asia adalah majalah bahasa Inggris yang dimiliki dan diterbitkan RHA Media Sdn Bhd. Kepanjangan ‘RHA’ adalah ‘Research House of Asia”.
Majalah ini berisi kisah bisnis yang sukses, berikut orang yang terlibat di dalamnya, serta menginspirasi gaya hidup di seluruh lini kehidupan Asia.
Source : https://gaya.tempo.co/read/624155/ceo-lojai-agus-tjandra-raih-top-10-of-asia-2014
Read More[Video] TechnobusinessTV : Tips Kembangkan StartUp yang Tepat
Agus Tjandra, praktisi yang sudah lama berkecimpung di dunia startup, terutama e-commerce, membagikan tips bagaimana mengembangkan startup yang tepat dan apa saja yang harus dihindari.
Tips mengembangkan startup ala Agus Tjandra ini sangat penting diketahui oleh mereka yang ingin dan baru saja memasuki dunia startup di Tanah Air. Silakan simak hasil wawancaranya bersama TechnoBusiness TV.
Source : https://technobusiness.id/2018/04/27/technobusiness-tv/tips-mengembangkan-startup-ala-agus-tjandra/
Read MoreBinusTV (Cisco WebEx) Live! Sharing knowledge What is Fintech Lending
Dr. Agus Tjandra Indonesia eCommerce Expert & Founder Instalment Online as guest speaker on BinusTv dengan tema What is Fintech Lending.
Jakarta 2018, Guest Speaker Dr. Agus Tjandra
Awarded CERTIFICATE to Dr. Agus Tjandra as Guest Speaker from BinusTV
Read MoreeCommerce Indonesia Perlu Belajar dari Taiwan ICT Roadshow 2014
“Perkembangnya internet di tanah air yang semakin pesat telah berdampak pada tumbuhnya transaksi secara online. Dengan total nilai transaksi e-commerce di tahun 2013 mencapai US$ 8 miliar atau sekitar Rp 94 triliun dan diprediksi akan meningkat hingga mencapai US$ 24 miliar atau sekitar Rp 283 triliun pada 2016, menjadikan bisnis online atau yang biasa disebut e-commerce menjadi bagian penting bagi pertumbuhan perekonomian negara.”
AGUS Tjandra, Vice Chairman & Foreign Relation Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), melihat potensi e-commercedi Indonesia memang sangat menjanjikan, namun pencapaian yang selama ini dirasakan belum memberikan hasil yang diinginkan.
“Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa dan besarnya pengguna internet yang mencapai 74 juta, ternyata hanya mencatatkan 4,6 juta yang melakukan transaksi online di tahun 2013. Hal ini tentunya belum merupakan angka yang besar dan menjadikan tantangan pertama dari perkembangan bisnis online di Indonesia,” ujar Agus, disela-sela penyelenggaraan Taiwan-Indonesia ICT Roadshow 2014 yang bertemakan “Taiwan E-commerce; Success Story”, di Hotel Grand Mercure Harmoni, Jakarta (2/9).
Hal lain yang harus dihadapi adalah metode pembayaran bisnis online yang masih menggunakan metode konvensional, yaitu transfer tunai dan bahkan cash on delivery (COD) yang merupakan pertanda masih belum tingginya kepercayaan pengguna internet terhadap metode pembayaran via kartu kredit maupun metoda e-payment lainnya. Pengguna layanan e-commerce juga masih terbatas pada para profesional yang merupakan pekerja kantoran dan belum merata pada berbagai kalangan pengguna internet lainnya. Belum lagi, pasar e-commerce Indonesia masih didominasi pengaruh pihak asing sehingga perlu dibuat langkah-langkah agar pelaku bisnis online Indonesia menjadi semakin kuat daya saingnya dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
idEA sebagai wadah pelaku industri e-commerce di Indonesia mengambil langkah dengan menjalin kerjasama dengan pihak Taiwan, yaitu Taipei Computer Association (TCA). Disebutkan Agus, kerjasama ini akan menjadi sarana edukasi dan membuka peluang investasi potensial yang ada di Indonesia. “E-commerce di Taiwan 10 tahun lebih dulu maju dari Indonesia sehingga kita perlu banyak informasi dari Taiwan untuk membangun e-commerce di dalam negeri dan menjadikan kerjasama ini kedepannya lebih konkrit lagi.”
Lebih lanjut, berikut ini wawancara BISKOM dengan pria kelahiran Palembang, 22 Agustus 1974 yang juga pendiri dan CEO Lojai.com, salah satu situs e-commerce terbesar di Indonesia ini.
idEA dan TCA telah melakukan penandatanganan MoU, apa saja bentuk kerjasama yang akan dilakukan?
Rencananya, kami akan melalui serangkaian program interaktif, diantara kunjungan perusahaan, presentasi bisnis, pertemuan bisnis, dan workshop. Kerjasama yang idEA lakukan tidak hanya terbatas dengan Taiwan, kedepannya kami akan banyak melakukan kerjasama dengan pihak lain dan akan banyak program yang dijalankan.
Dengan semakin banyak menjalin hubungan dengan pihak luar, maka akan semakin banyak informasi, pembelajaran dan pemberdayaan yang didapatkan. Dari sisi strategi akan semakin tahu apa saja yang negara lain lakukan.
Berapa nilai bisnis dari kerjasama yang dijalin ini?
Kalau kami konteknya sebagai asosiasi tidak merambah area komersil. Jadi kerjasamanya lebih kepada edukasi dan berbagi informasi. Edukasinya kita perlu belajar ke Taiwan, bertemu dengan dengan asosiasi-asosiasi di sana untuk belajar dan mengetahui langkah-langkah yang mereka lakukan untuk memajukan industri dinegaranya. Ini tentunya menjadi kesempatan yang bagus sekali untuk Indonesia.
Mengapa kerjasama ini lebih mengarah ke edukasi?
E-commerce di Indonesia terbilang industri baru yang tentunya edukasi dan belajar dari negara lain yang lebih dulu maju menjadi hal yang utama sekali. Dari sisi Taiwan sendiri dengan kerjasama ini mereka akan terhubung dengan pelaku industri e-commerce di Indonesia agar lebih naik industrinya. Selain itu, asosiasi kami kan terdiri atas 76 perusahaan yang juga butuh networking untuk mengembangkan bisnis. Jadinya kerjasama ini akan saling mengisi dan menguntungkan.
Mengapa e-commerce di Indonesia bisa tertinggal dari Taiwan?
Boleh dikatakan kematangan ekonomi Taiwan lebih dulu dan di atas kita. Di sana infrastrukturnya sudah ada semua, size negaranya juga lebih kecil dibandingkan Indonesia dan e-commerce sudah menjadi lifestyle.
Tetapi saya melihat e-commerce akan sukses sekali di negara-negara yang mempunyai penduduk yang besar dan memiliki spending yang besar juga. Jadi bisa dibilang potensi e-commerce Taiwan tidak sebesar Indonesia. Pastinya kita akan bisa mengejar ketertinggalan yang ada. Indonesia dengan pangsa pasar yang besar harus dijaga dengan cara memajukan industri lokal khususnya e-commerce. Jangan sampai nantinya negara asing yang membentuk asosiasi di Indonesia dan menguasai pasar.
Lalu, kapan e-commerce Indonesia bisa seperti Taiwan yang sudah advance teknologinya?
Kita lihat 3 tahun kedepan, karena e-commerce itu yang terpenting adalah infrastrukturnya. Nah, infrastruktur inikan tugasnya pemerintah untuk membangun, seperti membuat jalan yang dapat mempercepat transportasi pengiriman barang dan jangan sampai ada kemacetan yang berlarut-larut. Memang, sampai hari ini pemerintah sudah cukup support dan diharapkan dengan pemerintahan yang baru akan lebih support lagi. Inginnya ada regulasi yang mengatur percepatan infrastruktur. Itu yang terpenting.
Dari pelaku e-commerce sendiri apa yang akan dilakukan untuk mengejar ketertinggalan?
Industri akan mengikuti situasi. Infrastruktur bagus, semuanya bagus maka otomatis e-commerce akan naik. Bisa dibayangkan dengan situasi seperti sekarang ini saja percepatan pertumbuhan ekonomi kita lebih cepat dari negara-negara Asean lainnya. Orang Indonesia itu kreatif dengan kondisi ini bisa tumbuh lebih cepat, tentunya bila infrastrukturnya semakin bagus maka akan lebih cepat lagi pertumbuhannya.
Kepercayaan terhadap e-commerce masih menjadi suatu kendala. Bagaimana asosiasi menyikapi hal ini?
Dari kami sudah mengeluarkan yang namanya trust mark. Jadi bila masyarakat belanja di salah satu e-commerce seperti Lojai.com, maka akan terlihat tanda trust mark di kanan atas yang memverifikasi bahwa belanja disana aman dan merupakan anggota idEA. Untuk menjadi anggota, tentunya ada beberapa kriteria yang harus penuhi pelaku e-commerce. Jadi tidak sembarangan perusahaan bisa masuk menjadi bagian dari asosiasi kam, diperlukan legalitas.
Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi bahwa yang menjadi member idEA merupakan perusahaan yang identitasnya jelas dan bisa diketahui pemiliknya. Jadi bila ada masalah bisa diketahui harus melaporkan kemana.
Adakah teknologi yang digunakan untuk menjamin keamanan transaksi yang masih menjadi momok bagi pembelanja online?
Faktor secure memang harus diperkuat karena konsumen online selalu memperhatikan faktor keamanan. DI Lojai.com misalnya, telah dilengkapi dengan 3D secure system serta secure socket layer(SSL). Saat hendak masuk ke proses pembayaran, otomatis link akan berubah menjadi https (hypertext transfer protocol secure). Https merupakan kombinasi antara http da SSL/TLS. Jadi, lalu lintas data telah terenkripsi.
Kedepannya, trend e-commerce di Indonesia akan seperti apa?
Trendnya akan sangat pesat. Sekali. Saya pernah mengatakan di beberapa kesempatan, jika kita tidak terjun ke e-commerce 5 tahun lalu, itu tak masalah. Namun jika tak melakukan ini 5 tahun ke depan, maka akan menyesal. Dimana nilai belanja retail telah mencapai US$ 100 miliar, sementara penetrasi secara online baru 0,1% nya. Sisanya merupakan potensial dan itu masih sangat besar sekali sehingga e-commerce menjadi keharusan untuk berkembang. •ANDRI/M.TAUFIK (foto)
Source : http://www.biskom.web.id/2014/09/26/agus-tjandra-e-commerce-indonesia-perlu-belajar-dari-taiwan.bwi
Read MoreREKOR BISNIS 12 (ReBi 12) Recognition List
Lojai.com merupakan Belanja Online dengan Sistem Cicilan Pilihan & Kartu Kredit Terbanyak
masuk kedalam urutan 10 dalam REkor BIsnis ke 12 (REBI ke 12) pada tahun 2014 yang merupakan salah satu usaha yang dicetuskan oleh Agus Tjandra yang juga merupakan pelopor cicilan online pertama di Indonesia.
Read More
Bloomberg BusinessWeek, 1st Indonesia eCommerce Icon & Technopreneur
Siapa yang tidak mengenal Amazon.com? Toko online yang menjual buku-buku, film, game, CD, DVD, perangkat lunak dan perangkat keras komputer, serta produk-produk terkait gaya hidup itu begitu dikenal di Amerika Serikat. Bahkan, boleh dibilang Amazon merupakan toko ranah maya yang terbesar sekaligus kiblate-commerce global saat ini. Siapa pun yang membicarakan e-commerce, sulit rasanya mengesampingkan kebesaran Amazon.
Beberapa tahun lalu, perusahaan yang berbasis di Seattle, Washington, itu berhasil membukukan laba usaha senilai $862 juta dari pendapatan sebesar $48,07 miliar. Sampai kuartal pertama 2012, jumlah karyawannya telah mencapai 65.600 orang. Padahal, toko yang melayani permintaan dari berbagai penjuru dunia itu baru berumur 18 tahun. Dan, ketika mendirikannya pun Jeff Bezos masih tercatat sebagai karyawan di perusahaan investasi serta pengembangan teknologi DE Shaw & Co.
Sementara itu, di belahan wilayah yang lain, publik China begitu mendambakan Jack Ma. Ma semula adalah guru bahasa Inggris di Hangzhou Teachers College, Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang. Pada 1999, Ma mengembangkan Alibaba.com, e-commerce berkonsepmarketplace yang diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan di mana pun berada yang ingin menjual atau membeli sebuah produk.
Dari situlah Ma dikenal dan dikenang. Sebab, Alibaba.com kini berhasil menarik sekitar 79 juta pengguna dari 240 negara. Situs yang kemudian berkembang menjadi Alibaba Group tersebut telah memiliki beberapa anak perusahaan, antara lain Taobao Marketplace, Tmall.com, eTao, dan Alibaba Cloud Computing. Apabila dijual saat ini, kelompok bisnis itu diramalkan bernilai $35 miliar atau setara dengan Rp300 triliun. Itulah yang membuat Ma dinobatkan sebagai Pemimpin Muda Global oleh World Economic Forum pada 2001.
Apa yang menjadi persamaan antara Amazon dengan Alibaba atau Jeff Bezos dengan Jack Ma? Amazon dan Alibaba sama-sama dikembangkan pada 1990-an. Sedangkan para pendirinya sama-sama lahir pada 1964. Yang menjadi pertanyaan, apa menariknya? Sepuluh tahun setelah kelahiran Bezos dan Ma, tepatnya 22 Agustus 1974, di Kota Palembang, Sumatera Selatan, lahirlah Agus Tjandra yang amat bermimpi menjadi Jeff Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia.
Agus, demikian ia akrab disapa, menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya. Ia baru merantau ke ibu kota Jakarta ketika melanjutkan studi ke Universitas Bina Nusantara pada 1993. Karena ingin mempelajari sistem informasi manajemen, ia mengambil jurusan Management Information Systems. Pada 1998, usai dinyatakan lulus dari kampus, ia mengawali kariernya dengan bergabung menjadi staf biasa di perusahaan eksportir seafood.
Di pabrik eksportir seafood tersebut, Agus mendapatkan banyak pelajaran yang berharga. Ia menjadi tahu pengelolaan bisnisnya, mulai dari mencari bahan baku hingga proses pengiriman ke pelanggan di luar negeri. Agus pun dipercaya menjadi overseas marketing untuk melayani pembeli dari Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa dengan posisi terakhir marketing manager.
Tapi, Agus tak bertahan lama. Ia “dibajak” oleh salah satu perusahaan international trading terbesar dari Jepang setahun kemudian untuk mengurusi kantor perwakilan yang baru dibuka di Jakarta. Tentu saja bebannya tak bisa dibilang ringan karena ia bertanggung jawab langsung kepada atasannya yang berasal dari kantor pusat. Selain itu, ia wajib membesarkan perusahaan tersebut yang masih berada di titik nol. Padahal, kala itu Indonesia sedang terpuruk akibat krisis ekonomi yang melanda.
Berbagai tantangan itu justru yang membuat Agus lekas memahami arti bisnis sebenarnya. Ia banyak belajar dari keadaan. Disiplin, selalu berpikir positif, dan terus memikirkan berbagai inovasi merupakan sedikit hal yang ia lakukan tanpa henti demi membesarkan perusahaan. Soal inovasi, misalnya, ia tak pasrah dengan sedikit klien. Ia rela mendatangi perusahaan-perusahaan nasional untuk mengajaknya memasarkan produk-produk mereka ke pasar mancanegara.
Karena itu, setiap bulan ia mengunjungi negara-negara potensial untuk mencari para pembeli produk-produk dari Indonesia. Tidak hanya seafood, ia memperbanyak dengan produk kopi, lada, atau apa saja yang sekiranya laku di pasar internasional. “Sehingga, hampir semua negara sudah pernah saya kunjungi, terutama China dan Hong Kong serta negara-negara di kawasan Eropa,” katanya.
Dan, yang paling berguna bagi penyuka pop mandarin dan jazz itu ialah menjadi mengerti bagaimana proses manajemen rantai pasokan (supply chain management) sebuah barang, mulai dari mencari penjual, menemukan dan melobi pembeli, mengirimkan, sampai mengatur pembayaran, dan lain sebagainya. Ia pun berpengalaman dalam membuka pasar-pasar baru. Pengalaman itulah yang membuat ia berpikir hal-hal baru, termasuk membuka bisnis sendiri.
Pada 2005, karena menyukai refleksi, Agus mencoba peruntungan di bisnis refleksologi. Tidak lama berselang, ia membuka gerai salon kecantikan bernama Salon Anna Wijaya di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, atas hak waralaba dari Anna Wijaya, temannya. “Pada dasarnya, saya hobi berbisnis. Jadi, apa saja yang sekiranya menguntungkan, akan saya bisniskan,” ungkapnya. Walau sudah membuka bisnis sendiri, bukan berarti Agus telah keluar dari perusahaan international trading Jepang itu.
Agus baru mundur pada 2007 setelah jiwa bisnisnya semakin menggelora. Ia lantas mendirikan PT Agna Prosperindo Abadi, perusahaan penyedia katalog belanja bagi para nasabah perbankan. Prosesnya hampir mirip dengan perusahaan trading bahwa perusahaan tersebut mengimpor barang-barang bermerek asal Jepang, Amerika Serikat, China, Taiwan, dan Hong Kong untuk dipasarkan melalui katalog. Untuk menjalankan bisnisnya, ia menggandeng bank-bank penyedia kartu kredit.
Percaya atau tidak, dalam menjalankan bisnisnya itu, yang nota bener terkait kartu kredit, Agus hanya bermodalkan kartu kredit pula. Ceritanya, ketika menjadi international trader di perusahaan Jepang, ia sering mendapat tawaran kartu kredit. Jika orang lain sibuk menolaknya dengan berbagai alasan, ia malah selalu menerimanya. Bahkan, sampai saat ini memiliki 20 kartu kredit dari berbagai bank yang berbeda.
Berbekal kartu kredit itulah ia berbelanja barang-barang yang memungkinkan untuk dijual kembali melalui katalog. Fokus produknya adalah gadget, aksesori, peralatan rumah tangga, dan produk-produk penopang gaya hidup. Baginya, ada ceruk yang bisa dijadikan peluang bisnis sehingga ia berani melakukan dengan cara itu. “Memang harus berani,” ujarnya. “Mungkin kelebihan saya, saya bisa melihat tren yang akan terjadi di masa depan.”
Sekali waktu, ia mengimpor gelang kesehatan merek Magnvm dan memasarkannya melalui katalog yang ia buat. Tak disangka, permintaannya begitu membludak, bahkan meraih predikat Best Seller dari Bank Internasional Indonesia pada 2008. Atas kesuksesan itu, bank-bank lantas berlomba-lomba mengandeng Agnaprosperindo. Reputasi Agus dan perusahaannya pun semakin kinclong di mata kalangan perbankan. Sampai akhirnya tren belanja online mewabah di Indonesia dan ditangkap Agus dengan membuka toko PasarKredit.com.
Besarnya potensi pasar e-commerce nasional yang semakin tumbuh membuat Agus makin yakin untuk menyeriusi bisnis tersebut. Sayangnya, konsumen nasional terlalu gengsi untuk berbelanja di PasarKredit.com yang mengharuskan Agus mengubah namanya (rebranding) menjadi Lojai.com pada 2010. Lojai diambil dari bahasa Portugis yang bermakna Toko dengan konsep online department store. “Orang Indonesia itu malu kalau disebut barangnya kreditan. Makanya kami harus melakukan rebranding.”
Pasca-rebranding, Lojai.com langsung mendapat sambutan yang meriah dari pengguna internet di Tanah Air. Posisinya pun melesat mendekati Rakuten Belanja Online asal Jepang dan Blibli.com milik keluarga Djarum. Berbeda dari e-commerce lainnya, selain memasarkan lebih dari 100 merek-merek kelas menengah atas seperti Apple, Samsung, dan Sony, bahkan satu-satunya toko online yang dipercaya memasarkan merek St Dupont, Lojai.com menawarkan cicilan hingga 24 bulan dari 14 kartu kredit, baik MasterCard, Visa, maupun lainnya. Padahal, kompetitornya paling banyak hanya memiliki 2-3 pilihan kartu kredit.
Selain itu, kini Lojai.com sedang mempersiapkan diri berekspansi ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Brunei Darussalam. “Di dalam negeri, saya yakin Lojai.com akan memiliki 9 juta pelanggan selama lima tahun ke depan,” kata Agus. “Dan, kalau memungkinkan, kami akan segera ekspansi ke luar negeri.” Barangkali itulah jalan bagi Agus untuk bisa disebut Jeff Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia. “Obsesi saya ingin mencetak sejarah baru di dunia e-commerce Tanah Air,” kata penggemar film kungfu itu.[Bloomberg Businessweek Indonesia]
Read More