Inovasi Cicilan Online Agus Tjandra Global Branding Awards 2016
JAKARTA, 27 Mei 2016 – Ada kabar baik dari anak bangsa yang ikut mengharumkan nama Indonesia. Kali ini Chief Executive Officer (CEO) dan Founder of Installment Online dari Lojai.com Agus Tjandra berhasil mendapatkan penghargaan bergengsi “Global Branding Awards 2016”.
Penghargaan ini diberikan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 19 Mei 2016.
Global Branding Awards ditujukan untuk memberikan penghargaan kepada brand dan perusahaan yang berkinerja luar biasa di berbagai sektor diselenggarakan oleh Global Brands Council dan The Leaders International Magazine, sebuah majalah bisnis yang berbasis di Malaysia.
Penghargaan “Global Branding Awards 2016” diberikan kepada perusahaan lokal di setiap negara yang memiliki reputasi baik, dengan kriteria antara lain perusahaan/bisnis sudah berjalan lebih dari 5 tahun, CEO/Founder cukup dikenal baik di tingkat nasional maupun di internasional, pernah menjadi pembicara dalam forum nasional/internasional, mendapatkan penghargaan dari beberapa Instansi, memiliki ciri khas dan reputasi baik, serta konsisten dalam menjalankan bisnis ditunjang tim yang mumpuni.
“Saya sangat bangga dapat mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional dimana perwakilan lebih dari 20 negara berkumpul, masing-masing mengusung keahlian khusus,” kata Agus Tjandra (41) mengomentari pencapaian ini.
Sebelumnya, Agus mengaku menjalani seleksi dan sejumlah wawancara sebelum akhirnya diputuskan sejumlah dewan juri yang terdiri dari orang-orang berpengaruh layak mendapatkan penghargaan “Global Branding Awards 2016”.
Global Branding Awards memilih insan kreatif yang melakukan pencapaian di bidangnya. Salah satu tokoh terkemuka yang pernah mendapatkan penghargaan “Global Branding Awards” adalah Jimmy Choo (Datuk Jimmy Choo/OBE Jimmy Choo Yeang Keat), seorang desainer Malaysia yang terkenal berkat karya-karya sepatunya yang mendunia dan dikenakan selebritas Hollywood.
Agus Tjandra, Founder online department store Lojai.com yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum idEA (Indonesia Ecommerce Association/Asosiasi Ecommerce Indonesia) terpilih mendapatkan “Global Branding Award 2016” berkat prestasinya sebagai Pelopor dan Pencipta Cicilan Online di Indonesia.
Ide cicilan online ini membantu pembeli meringankan pembayaran serta meningkatkan transaksi dengan pembayaran yang lebih ringan serta konsistensinya mengedukasi kepada masyarakat Indonesia mengenai Ecommerce melalui toko online yang dibesutnya Lojai.com.
Dalam beberapa tahun terakhir, Agus Tjandra juga aktif menjadi pembicara mengenai perkembangan Ecommerce di sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura, serta tentu di dalam negeri.
Bukan hanya merintis dan membesarkan Lojai.com, Agus Tjandra juga banyak terlibat mewakili idEA dalam sosialisasi tren belanja online di Tanah Air dan memberi masukan ke pemerintah.
Agus menambahkan, penghargaan ini akan menjadi pelecut semangat untuk berbuat lebih baik lagi. Agus berharap, pencapaian ini akan menginspirasi anak muda Indonesia untuk berbuat lebih.
Bisnis Online Harus Luwes Mengikuti Perubahan
Di tengah perekonomian yang agak lesu, Agus Tjandra melihat bisnis ecommerce Indonesia akan berkilau. Sampai tahun 2015, Indonesia masih tetap menempati posisi empat besar dalam jumlah populasi penduduk terbanyak di dunia.
“Dibandingkan dengan jumlah toko online, masih belum sebanding. Pemain besar di pasar online masih bisa dihitung dengan jari, khususnya jika dibandingkan dengan sejumlah negara seperti Cina, Amerika Serikat atau India,” kata Agus.
Yang dibutuhkan toko online/marketplace agar bisa eksis dan mampu bersaing adalah melakukan metamorfosis, mengubah konsep menyesuaikan dengan perubahan zaman dan kebutuhan konsumen. “Yang tak mau berubah biasanya tidak berkembang dan selanjutnya mati,” kata Agus.
Contoh penyesuaian yang dimaksud Agus misalnya, menawarkan harga yang lebih rendah atau memberikan gratis ongkos kirim, promo khusus saat membeli produk/jasa online, barang cepat sampai sehingga konsumen mendapatkan manfaat membeli secara online.
Agus menandaskan, banyak orang awam menyangka bahwa Ecommerce haruslah menjual barang dalam bentuk fisik. Padahal sejatinya tidaklah demikian.
Agus membagi Ecommerce menjadi dua bagian, yaitu:
1.Ecommerce Shopping Products (Fisik maupun Digital).
Yang termasuk kategori ini antara lain belanja barang secara fisik, misalnya membeli pakaian, gadget, kosmetik secara online. Namun bisa juga belanja tidak berwujud benda fisik, namun berupa produk digital, misalnya musik, games atau bahkan e-book.
2. Ecommerce Services (Jasa)
Termasuk dalam kategori ini misalnya jasa transportasi online (Go-Jek, Uber, Grab, dan lain-lain), pemesanan tiket, AirBNB, jasa pengantaran makanan dan sebagainya.
Ke depannya, menurut Agus, semuanya akan bermuara ke mekanisme O2O (Offline to Online) apapun bentuk bisnisnya. “Saya prediksikan 10 tahun ke depan Ecommerce bukanlah kata yang cool lagi, namun akan menjadi hal biasa dalam keseharian masyarakat,” kata Agus.
Untuk meningkatkan daya saing, mereka yang berniat merintis bisnis toko online dengan modal tak terlalu besar harus memenuhi sejumlah kriteria, antara lain harus unik, meningkatkan layanan, dan tak kalah penting adalah menghindari ‘head to head’ dengan pemain besar dengan modal tak terbatas.
Jika memungkinkan, carilah mitra strategis untuk meningkatkan kekuatan, serta senantiasa menjaga layanan yang baik untuk pelanggan.
Agus mencontohkan, Lojai.com saat ini berupaya untuk menghindari ‘head to head’ dengan pemain besar dan sedang dalam proses penyesuaian dengan kondisi pasar yang dinamis.
“Saat ini Lojai.com masih tetap ada kerja sama dengan sejumlah bank dalam hal pembayaran transaksi online. Ke depannya Lojai.com akan berkolaborasi agar dapat melakukan pembayaran di semua convenience store, seperti Indomaret,” kata Agus.
Agar tampil unik dan menjadi pembeda dengan toko online lainnya, Lojai.com menyediakan sejumlah item yang memang hanya dijual di toko online ini. Misalnya Health Fashion “MAQNVM” berupa gelang dan kalung yang mengandung unsur mineral seperti ion negatif, Titanium, magnet maupun Germanium yang dipercaya dapat membantu stabilitas tubuh.
Selain gelang dan kalung kesehatan, produk unik yang hanya ditemukan di Lojai.com adalah perlengkapan dapur merek iKitchen seperti panci, Double Pan atau alat masak Wok Pan, buatan Korea serta produk suplemen dan vitamin
Agus menambahkan, dalam waktu dekat Lojai.com akan bekerja sama dengan Groceries Mobile Apps papan atas dari Malaysia. Perusahaan Malaysia ini mengutamakan akses hanya melalui mobile saja, yaitu www.Jocom.my (yang bisa diunduh di Android Market).
“Mereka memiliki tehnologi tinggi dan berpengalaman di sistem Ecommerce B2C, B2B maupun C2C maupun O2O Logistic & Warehouse, Accounting dan Analytic,” pungkasnya. (VW)
Read MoreMobile Money and Digital Payments Asia
Mobile Money and Digital Payments Asia returned for its sixth year in January, offering an opportunity for the industry’s key stakeholders to meet and share insight, opinions and strategy at the Ritz-Carlton Jakarta.
On the first day of the event, the e-MITRA team attended The Digital Money Leaders’ Summit. The Summit is a gathering of specially selected senior executives from across the financial services and inclusion ecosystem.
The open dialog inspired by the senior payment industry stakeholders raised some interesting projections and questions. Sunil Sachdev of Fiserv shared some of his views:
“Bill payment in Indonesia is pretty robust; you can go to different agents in different cities to pay bills. It’s similar in Mexico – people still queue to pay their bills. Changing this consumer behavior is going to take some time,” he said. “Also, rural remittance is an issue which needs to be solved by digitalization. It covers 33 percent of all flows in Central America, South America, and Cambodia.”
After the Summit session, we attended a panel discussion featuring Aung Aung of Myanmar Citizens Bank, Ellison Pidik of Bank of Papua New Guinea, and Pungky Wibowo of Bank Indonesia. Sunil Sachdev of Fiserv served as moderator.
According to Pungky, there are several main challenges to implementing digital banking in Indonesia, including financial literacy, mobile phone penetration, and regulation itself.
“The rate of financial literacy is quite low in Indonesia. How can we provide a comprehensive financial inclusion strategy for a country as big as this? Our country being an archipelago becomes another challenge we need to conquer,” he remarked.
Ellison, Assistant Governor for Financial System Stability of the Bank of Papua New Guinea, then explained that most of the population in Papua New Guinea is unbanked. He said that they allow not only bank-led mobile money, but also products from telecommunication companies.
“We just want to open the market and see which areas can work well. We have provided what we believe as framework,” he added.
Meanwhile, Aung stressed that physical banking services don’t make sense in a country like Myanmar. The reason banks get into mobile money, he said, is because they realize that physical banking services are very expensive.
“The challenges we’re facing are enormous. On the consumer side, we have less than 5% of banked population. We need infrastructure and when only 20% of the population is using mobile, we have a long way to go compared to other developing countries,” Aung said.
The next generation of microfinance products
On the second day, we participated in an interesting panel discussion moderated by Brian Dusza of USAID about the next generation of microfinance products.
Competition between banks and microfinance institutions was one of the main topics.
“For microfinance institutions, I think the best thing at the moment is working with telecommunication companies. I think they can work with banks in the future, but both parties need to see this not as a competition,” stressed panelistEky Amrullah of e-MITRA.
Second panelist Andi Taufan Garuda Putra of Amartha Microfinance added that banks and microfinance institutions can complement each other in some ways. Andi also shared his experience in providing training for low-income communities.
“In Amartha, before we lend money, we educate [recipients] about the importance of savings and how to manage multiple loans from different microfinance institutions. And then, we provide training continuously, every week. I think finance institutions must educate their clients before they provide loans,” Andi said.
The discussion closed around the topic of how agent banking in Indonesia will look in the next five to ten years. Eky emphasized that in the future there will be a lot of agents that telecommunications companies can work with.
“The challenge would be whether they can work with licensed institutions or not. Because in terms of branchless banking regulations, only banks can work with agents. Therefore, we can see that the challenge comes from the regulation side,” he said.
How digital money shapes payment culture
On the third and final day of Mobile Money and Digital Payments Asia 2015, Vijay Raghunathan of Panamax talked about cryptocurrency. He underlined that mobile money is introducing a lot of new business models requiring people to do more experiments, and that emerging economies are in fact going towards the digital world, though not at the rate we want them to.
Agus Tjandra of lojai.com, Arnab Ghosh of Vietnam International bank, Makoto Shibata of The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, and Geert Warlop of True Group, Thailand, also sat as panelists to discuss how digital money is shaping payment culture. One of the topics in this panel is about what would be the best model in each of the panelists’ countries. The panel came to a conclusion that traditional financial institutions may find it hard to compete with new players who have new business models, and the competition will continue in the future.
Read MoreBloomberg BusinessWeek, 1st Indonesia eCommerce Icon & Technopreneur
Siapa yang tidak mengenal Amazon.com? Toko online yang menjual buku-buku, film, game, CD, DVD, perangkat lunak dan perangkat keras komputer, serta produk-produk terkait gaya hidup itu begitu dikenal di Amerika Serikat. Bahkan, boleh dibilang Amazon merupakan toko ranah maya yang terbesar sekaligus kiblate-commerce global saat ini. Siapa pun yang membicarakan e-commerce, sulit rasanya mengesampingkan kebesaran Amazon.
Beberapa tahun lalu, perusahaan yang berbasis di Seattle, Washington, itu berhasil membukukan laba usaha senilai $862 juta dari pendapatan sebesar $48,07 miliar. Sampai kuartal pertama 2012, jumlah karyawannya telah mencapai 65.600 orang. Padahal, toko yang melayani permintaan dari berbagai penjuru dunia itu baru berumur 18 tahun. Dan, ketika mendirikannya pun Jeff Bezos masih tercatat sebagai karyawan di perusahaan investasi serta pengembangan teknologi DE Shaw & Co.
Sementara itu, di belahan wilayah yang lain, publik China begitu mendambakan Jack Ma. Ma semula adalah guru bahasa Inggris di Hangzhou Teachers College, Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang. Pada 1999, Ma mengembangkan Alibaba.com, e-commerce berkonsepmarketplace yang diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan di mana pun berada yang ingin menjual atau membeli sebuah produk.
Dari situlah Ma dikenal dan dikenang. Sebab, Alibaba.com kini berhasil menarik sekitar 79 juta pengguna dari 240 negara. Situs yang kemudian berkembang menjadi Alibaba Group tersebut telah memiliki beberapa anak perusahaan, antara lain Taobao Marketplace, Tmall.com, eTao, dan Alibaba Cloud Computing. Apabila dijual saat ini, kelompok bisnis itu diramalkan bernilai $35 miliar atau setara dengan Rp300 triliun. Itulah yang membuat Ma dinobatkan sebagai Pemimpin Muda Global oleh World Economic Forum pada 2001.
Apa yang menjadi persamaan antara Amazon dengan Alibaba atau Jeff Bezos dengan Jack Ma? Amazon dan Alibaba sama-sama dikembangkan pada 1990-an. Sedangkan para pendirinya sama-sama lahir pada 1964. Yang menjadi pertanyaan, apa menariknya? Sepuluh tahun setelah kelahiran Bezos dan Ma, tepatnya 22 Agustus 1974, di Kota Palembang, Sumatera Selatan, lahirlah Agus Tjandra yang amat bermimpi menjadi Jeff Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia.
Agus, demikian ia akrab disapa, menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya. Ia baru merantau ke ibu kota Jakarta ketika melanjutkan studi ke Universitas Bina Nusantara pada 1993. Karena ingin mempelajari sistem informasi manajemen, ia mengambil jurusan Management Information Systems. Pada 1998, usai dinyatakan lulus dari kampus, ia mengawali kariernya dengan bergabung menjadi staf biasa di perusahaan eksportir seafood.
Di pabrik eksportir seafood tersebut, Agus mendapatkan banyak pelajaran yang berharga. Ia menjadi tahu pengelolaan bisnisnya, mulai dari mencari bahan baku hingga proses pengiriman ke pelanggan di luar negeri. Agus pun dipercaya menjadi overseas marketing untuk melayani pembeli dari Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa dengan posisi terakhir marketing manager.
Tapi, Agus tak bertahan lama. Ia “dibajak” oleh salah satu perusahaan international trading terbesar dari Jepang setahun kemudian untuk mengurusi kantor perwakilan yang baru dibuka di Jakarta. Tentu saja bebannya tak bisa dibilang ringan karena ia bertanggung jawab langsung kepada atasannya yang berasal dari kantor pusat. Selain itu, ia wajib membesarkan perusahaan tersebut yang masih berada di titik nol. Padahal, kala itu Indonesia sedang terpuruk akibat krisis ekonomi yang melanda.
Berbagai tantangan itu justru yang membuat Agus lekas memahami arti bisnis sebenarnya. Ia banyak belajar dari keadaan. Disiplin, selalu berpikir positif, dan terus memikirkan berbagai inovasi merupakan sedikit hal yang ia lakukan tanpa henti demi membesarkan perusahaan. Soal inovasi, misalnya, ia tak pasrah dengan sedikit klien. Ia rela mendatangi perusahaan-perusahaan nasional untuk mengajaknya memasarkan produk-produk mereka ke pasar mancanegara.
Karena itu, setiap bulan ia mengunjungi negara-negara potensial untuk mencari para pembeli produk-produk dari Indonesia. Tidak hanya seafood, ia memperbanyak dengan produk kopi, lada, atau apa saja yang sekiranya laku di pasar internasional. “Sehingga, hampir semua negara sudah pernah saya kunjungi, terutama China dan Hong Kong serta negara-negara di kawasan Eropa,” katanya.
Dan, yang paling berguna bagi penyuka pop mandarin dan jazz itu ialah menjadi mengerti bagaimana proses manajemen rantai pasokan (supply chain management) sebuah barang, mulai dari mencari penjual, menemukan dan melobi pembeli, mengirimkan, sampai mengatur pembayaran, dan lain sebagainya. Ia pun berpengalaman dalam membuka pasar-pasar baru. Pengalaman itulah yang membuat ia berpikir hal-hal baru, termasuk membuka bisnis sendiri.
Pada 2005, karena menyukai refleksi, Agus mencoba peruntungan di bisnis refleksologi. Tidak lama berselang, ia membuka gerai salon kecantikan bernama Salon Anna Wijaya di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, atas hak waralaba dari Anna Wijaya, temannya. “Pada dasarnya, saya hobi berbisnis. Jadi, apa saja yang sekiranya menguntungkan, akan saya bisniskan,” ungkapnya. Walau sudah membuka bisnis sendiri, bukan berarti Agus telah keluar dari perusahaan international trading Jepang itu.
Agus baru mundur pada 2007 setelah jiwa bisnisnya semakin menggelora. Ia lantas mendirikan PT Agna Prosperindo Abadi, perusahaan penyedia katalog belanja bagi para nasabah perbankan. Prosesnya hampir mirip dengan perusahaan trading bahwa perusahaan tersebut mengimpor barang-barang bermerek asal Jepang, Amerika Serikat, China, Taiwan, dan Hong Kong untuk dipasarkan melalui katalog. Untuk menjalankan bisnisnya, ia menggandeng bank-bank penyedia kartu kredit.
Percaya atau tidak, dalam menjalankan bisnisnya itu, yang nota bener terkait kartu kredit, Agus hanya bermodalkan kartu kredit pula. Ceritanya, ketika menjadi international trader di perusahaan Jepang, ia sering mendapat tawaran kartu kredit. Jika orang lain sibuk menolaknya dengan berbagai alasan, ia malah selalu menerimanya. Bahkan, sampai saat ini memiliki 20 kartu kredit dari berbagai bank yang berbeda.
Berbekal kartu kredit itulah ia berbelanja barang-barang yang memungkinkan untuk dijual kembali melalui katalog. Fokus produknya adalah gadget, aksesori, peralatan rumah tangga, dan produk-produk penopang gaya hidup. Baginya, ada ceruk yang bisa dijadikan peluang bisnis sehingga ia berani melakukan dengan cara itu. “Memang harus berani,” ujarnya. “Mungkin kelebihan saya, saya bisa melihat tren yang akan terjadi di masa depan.”
Sekali waktu, ia mengimpor gelang kesehatan merek Magnvm dan memasarkannya melalui katalog yang ia buat. Tak disangka, permintaannya begitu membludak, bahkan meraih predikat Best Seller dari Bank Internasional Indonesia pada 2008. Atas kesuksesan itu, bank-bank lantas berlomba-lomba mengandeng Agnaprosperindo. Reputasi Agus dan perusahaannya pun semakin kinclong di mata kalangan perbankan. Sampai akhirnya tren belanja online mewabah di Indonesia dan ditangkap Agus dengan membuka toko PasarKredit.com.
Besarnya potensi pasar e-commerce nasional yang semakin tumbuh membuat Agus makin yakin untuk menyeriusi bisnis tersebut. Sayangnya, konsumen nasional terlalu gengsi untuk berbelanja di PasarKredit.com yang mengharuskan Agus mengubah namanya (rebranding) menjadi Lojai.com pada 2010. Lojai diambil dari bahasa Portugis yang bermakna Toko dengan konsep online department store. “Orang Indonesia itu malu kalau disebut barangnya kreditan. Makanya kami harus melakukan rebranding.”
Pasca-rebranding, Lojai.com langsung mendapat sambutan yang meriah dari pengguna internet di Tanah Air. Posisinya pun melesat mendekati Rakuten Belanja Online asal Jepang dan Blibli.com milik keluarga Djarum. Berbeda dari e-commerce lainnya, selain memasarkan lebih dari 100 merek-merek kelas menengah atas seperti Apple, Samsung, dan Sony, bahkan satu-satunya toko online yang dipercaya memasarkan merek St Dupont, Lojai.com menawarkan cicilan hingga 24 bulan dari 14 kartu kredit, baik MasterCard, Visa, maupun lainnya. Padahal, kompetitornya paling banyak hanya memiliki 2-3 pilihan kartu kredit.
Selain itu, kini Lojai.com sedang mempersiapkan diri berekspansi ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Brunei Darussalam. “Di dalam negeri, saya yakin Lojai.com akan memiliki 9 juta pelanggan selama lima tahun ke depan,” kata Agus. “Dan, kalau memungkinkan, kami akan segera ekspansi ke luar negeri.” Barangkali itulah jalan bagi Agus untuk bisa disebut Jeff Bezos atau Jack Ma-nya Indonesia. “Obsesi saya ingin mencetak sejarah baru di dunia e-commerce Tanah Air,” kata penggemar film kungfu itu.[Bloomberg Businessweek Indonesia]
Read More